• Categories

  • Archives

Partisipasionisme

Peningkatan partisipasi masyarakat serasa masih hanya sebagai bumbu pemanis setiap kali seseorang atau suatu lembaga mengajukan rencana dalam pembangunan. Kata peningkatan partisipasi sangat sering dituliskan dalam formulasi rencana, namun segera menghilang ketika implementasi berjalan.Gejala ini telihat dalam implementasi program yang dilakukan oleh berbagai NGOs yang saat ini menjalankan aktivitasnya di wilayah bencana seperti Aceh dan Nias. Dalam forum bersama, kebanyakan tokoh NGOs akan mengatakan bahwa masyarakat yang terkena bencana sangat perlu dilibatkan dalam rehabilitasi dan rekonstruksi. Bahkan, ada yang berpendapat bahwa penglibatan (partisipasi) masyarakat harus dijadikan sebagai prasyarat bagi pengesahan program, serta sebagai indikator bagi pengukuran keberhasilan program.Namun, di lapangan sebagian besar mereka segera mengubah strategi dari community base (yang mengutamakan partisipasi masyarakat) menjadi “efficiency and effectiveness base” yang lebih mengutamakan target formal. Strategi kedua dianggap lebih effisien ketimbang strategi pertama yang dalam penerapannya sering harus berjalan secara zigzag dan membutuhkan waktu yang lebih lama. Mereka yang enggan bersusah payah, pasti cenderung memilih strategi kedua karena dianggap tidak rumit dalam implementasi proyek maupun dalam hal pengukuran terhadap efisiensi dan efektivitas program.

Formalisme: Betapa sering kita terbelenggu oleh suasana formalisme dalam mengukur kinerja program. Target formal sering lebih penting daripada target lapangan. Ini telah mengakibatkan adanya kecenderungan NGOs di wilayah bencana merasa lebih tertarik pada program pembangunan fisik ketimbang pembangunan sosial semisal peningkatan pendapatan masyarakat atau “social capital”.Tak banyak atau bahkan mungkin hampir tidak ada yang mengkritik ketika semua NGOs berlomba di lapangan untuk mencapai target formal organisasinya masing-masing. Soal apakah telah terjadi peningkatan kesadaran partisipasi masyarakat atau apakah proyek akan sustainable, menjadi pertanyaan yang lebih sering dihindari daripada dibahas. Bahkan menjelang babak akhir proyek sering berkembang konsep “eufemisme” seperti adanya istilah “setengah partisipasi“, “partisipasi sebagian”, dsb.. Istilah-istilah terakhir ini menggambarkan bahwa masyarakat diajak bergotong royong namun sebagian dari nilai rupiah pekerjaannya dibayar. Gotong royong mengalami perubahan makna dari pekerjaan suka rela untuk kepentingan bersama menjadi pekerjaan yang dibayar !Gejala ini match dengan istilah illusionisme pada dunia pembuatan game komputer. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan para social worker sebagai pemain hanya berillusi (dan dianggap sah) bahwa masyarakat telah kerja sama dalam implementasi program sebagaimana halnya seorang pemain game berilusi terjun ke medan peperangan dengan bermain game perang-perangan di komputer.

Ideologi: Harus diakui, betapa sulitnya menggugah partisipasi masyarakat di lapangan. Baru saja pada tahapan pelaksanaan assesment, semisal melakukan PRA (Participatory Rural Appraisal), ada kelompok masyarakat di wilayah bencana sudah meminta uang kepada si penyelenggara PRA atas keterlibatannya sebagai peserta PRA. Di Lhok Bihau, Simeulue Barat ada anggota masyarakat terus terang mengatakan agar dana yang diperuntukkan bagi asessment dibagi-bagi saja. Mungkin saja, ini adalah produk situasi sosial masa lalu yang terbawa-bawa hingga era reformasi ini. Kebanyakan masyarakat kita melihat kegiatan apapun jika disebut sebagai “pembangunan” adalah tugas/kewajiban pemerintah. Masyarakat merasa sah saja menuntut imbalan jika terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang disebut sebagai “pembangunan”.Berbagai kendala yang berasal dari masyarakat maupun dari prosedur kelembagaan akhirnya sering mematahkan semangat orang-orang NGOs menegakkan prinsip partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dan selanjutnya mengubah strategi program bantuan pembangunannya. Terlebih-lebih jika semangat mengedepankan partisipasi belum menjadi “ideologi” bagi mereka. Skala bencana yang begitu besar seperti di Aceh dan Nias telah menyebabkan NGOs membutuhkan sangat banyak orang-orang untuk melaksanakan programnya. Alhasil, banyak orang-orang baru seperti lulusan baru dari perguruan tinggi, maupun mantan pegawai perusahaan swasta yang bangkrut diterpa krisis ekonomi
Indonesia terjun ke NGOs di wilayah bencana. Sulit untuk menyalahkan mereka yang akhirnya bekerja menurut budaya lama yakni bekerja mengejar “target”.
Para lulusan baru biasanya cenderung patuh mengikuti mereka yang dianggap telah berpengalaman namun berorientasi mengejar target formal.

Pertarungan: Terjun ke lapangan dengan tugas menggugah partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan akhirnya ibarat terjun ke sebuah pertarungan.
Para agen pembangunan harus berbekal demikian banyak jurus untuk digunakan ketika berhadapan dengan masyarakat.
Salah satu jurus yang paling handal adalah kemampuan meminjam tenaga masyarakat untuk mendorong diri mereka melakukan sesuatu. Agen pembangunan yang mampu melakukan ini adalah mereka yang telah berhasil menginternalisasikan semangat partisipasi sebagai nilai-nilai yang harus ditegakkan di lapangan. Partisipasionisme harus menjadi ideologi baru bagi mereka. Tanpa itu, setiap rumusan partisipasi akhirnya tidak lebih hanya sekedar menjadi butir-butir di pasirnya illusionisme.